Rabu, 05 Desember 2012

Hystori Iblis Menangis


Aku baru saja bangun dari tidur. Berjalan menyisiri meja makan yang sama sekali tidak ada makanan di atasnya. Aku mulai membuka pintu, mempersilahkan udara pagi yang segar masuk dan menempati setiap sudut ruangan. Aku mulai melihat pekarangan rumah sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat. Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Tapi sayang, ketika aku mulai merasakan nikmatnya udara pagi, aku dikejutkan oleh sesosok, seekor atau seonggok? Walaupun aku belum yakin benar makhluk apa itu, tapi sepertinya aku mengenalnya. Melihat dari sosoknya yang besar, seluruh tubuhnya yang berwarna merah dengan dua tanduk di kepalanya yang plontos serta ekor yang panjang dengan ujung berbentuk anak panah. Yah..aku yakin kalau dia iblis. Mungkin aku terlalu banyak menonton film Hollywood yang selalu mendeskripsikan iblis dengan bentuk seperti itu. Mendadak rasa takut datang menghampiriku. Kuamati lekat mencari kebenarannya. Apakah ini patung? atau memang benar-benar iblis? Tanpa reaksi yang panjang, aku mencopot sandal kiriku dan melempar ke arahnya. Tapi sayang, aku melempar tanpa bidikan yang jitu. Sandalku hanya melewati tubuhnya yang seram itu. Kali ini aku mengusirnya dengan suara yang agak keras. “Hus…sana pergi!” Tapi dia masih tetap berada di teras rumahku. Aku mulai khawatir dengan reaksi iblis ini, mungkinkah dia akan marah dengan mengeluarkan segala kekuatannya untuk menyerangku? Tapi tidak! Bukankah aku orang beragama? yang diciptakan, tunduk dan takut pada Tuhan semata. Bukan takut pada makhluk yang sama-sama di ciptakan oleh Allah, Tuhanku. Jadi, kuberanikan diri untuk mendekatinya dengan sisa sandalku yang kuacungkan sambil berancang-ancang untuk teriak sekeras mungkin. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis! Mataku tertuju pada matanya yang berair. Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya. Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis, walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. “Mengapa?”, tanyanya. “Kau begitu takut padaku?” Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada Allah, pada Tuhan yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya. “Aku tidak takut sedikit pun padamu!” Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua. “Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin dari segala Iblis?” “Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat”, jawabku. Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri. “Sungguh?Kau tidak berdusta?”, tanyanya. Aku agak ragu-ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke arah sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci, kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu. Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali. Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong. “Lalu kenapa aku harus pergi?” tanyanya lagi. “Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?” Iblis mulai berspekulasi macam-macam. “Kau ini Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan!” Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. “Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!” . “Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?” “Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar.” sahutku. “Begitukah?” tanyanya hampir pada dirinya sendiri. “Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?” Brengsek! Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. “Tahukah kau mengapa aku sedih?” Tanyanya. “Kau hendak menggodaku, Iblis?” Sergahku. “Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu.” “Aku hanya bertanya,” sahutnya. “Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan.” Jawab iblis. “Iblis kesusahan?” kataku sambil sedikit tertawa sinis. “Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang Allah! Dan tidak ada empati untuk mahluk penentang Allah.” Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis. Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka. Dan itu semua karena ulahmu Iblis. Iblis ini benar-benar hebat. Dia pintar sekali mengeluarkan alibi-alibi yang membuat aku mulai bingung tentang keberadaan Allah dan malaikat yang sejak tadi aku tunggu-tunggu kedatangannya untuk menemaniku melawan iblis, si biang jahat! Apa yang dilakukannya benar-benar sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi. “Banyak manusia yang bilang bahwa aku menentang Allah? Itu tidak benar!” Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah. “Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang Allah. Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?” Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku. “Sesungguhnya, aku seperti ini juga atas perintah Tuhanmu, Allah. Percayalah itu wahai manusia.” katanya perlahan. “Allah memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada Allah. Apakah itu berarti menentang Allah?” Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, “Kalau Iblis menentang perintah Allah untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-Nya? Mengapa manusia harus membenci aku? Bukankah ini just business and nothing personal.” katanya dengan raut tidak berdosa. Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya. “Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?” Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis. Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca tanpa memahami huruf-huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh. Sejenak aku berpikir, bagaimana cara melawan sosok iblis ini? hanya dengan iman? atau hanya percaya dengan kekuasaan Tuhan? oh ya, harusnya sejak tadi aku menyebut nama Allah, tapi justru sekarang yang terlontarkan dari mulutku hanya sebuah bentakan, “Hah! Engkau memang benar-benar iblis! Pintar sekali memutar balikkan fakta. Memutar balikkan fakta seperti inilah yang menjadi ciri yang tak pernah lepas dari ke iblisanmu.” Dia terdiam, dan aku agak sedikit lega. Sepertinya si iblis mulai kalah dengan bentakanku tadi. Tak lama iblis mulai bertanya lagi, “Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?” Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku. “Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara Allah! Mahluk suci yang tidak mau berpaling dari Allah. Tidak sepertimu!” “Bukankah ia yang mencabut nyawamu?” “Ia menjalankan itu atas perintah Allah! Itu tugasnya, Bodoh!” Makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku. “Bukankah aku pun demikian? Aku hanya menjalankan tugas.” Sahutnya perlahan. “Entah apa kepercayaanmu terhadap Allah, tapi semestinya kau tahu bahwa rencana Allah yang mendudukan manusia, iblis dan malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing.” Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku tidak akan surut, bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis, tapi aku perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya. Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimana pun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi. Tiba-tiba ia berkata, “Kalau aku menjadi pengikut Allah yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?” Aku terkejut sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia. “Aku tidak tahu.” jawabku. “Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?” “Manusia memang begitu.” katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan. “Kadang Iblis lebih jujur dibandingkan manusia.” “Hah…!” sergahku pendek. “Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang Khalik- pun manusia masih bisa berdusta.” “Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang Khalik.” kataku yakin. “Tapi ya, di dunia bukan?” sang Iblis menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi. “Tuhan, Allah, tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. Dia menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?” Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat Allah terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. “Allah tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir.” Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba- tiba dari bibirku. Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan? “Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan.” kata Iblis. “Atas bujukanmu tentu.” sahutku pendek. “Atas perintah Allah pula tentu.” sahutnya tersenyum. Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini. “Cukup! Hapus air mata palsumu itu dan pergi dari rumahku sekarang juga!” Bentakku dengan harap-harap cemas. “Apakah kau masih membenci aku?” Tanya sang Iblis lagi. Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, “Walaupun kita sama-sama mahluk Allah, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah Allah. It is just business, nothing personal.” Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas. Ugh…mimpi!! Mimpi buruk atau sebuah mimpi dari Allah yang mengingatkanku akan pentingnya iman manusia.

1 komentar:

  1. DEWAPK^^ agen judi terpercaya, ayo segera bergabungan dengan kami
    dicoba keberuntungan kalian bersama kami dengan memenangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi segera buka link kami ya :) :)


    BalasHapus